Sejarah Nagari Sungayang

Umum

Sungayang merupakan nama sebuah nagari yang sekaligus menjadi nama bagi sebuah kecamatan yaitu kecamatan Sungayang, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Nagari ini terletak di dekat Batusangkar, ibu kota dari kabupaten Tanah Datar.

Nagari Sungayang terletak 6 km sebelah utara kota Batusangkar, adalah sebuah nagari dari 5 nagari dalam Kecamatan Sungayang Kabupaten Tanah Datar, dengan ketinggian 650 – 750 m dpl. Dalam bidang pemerintahan Nagari Sungayang terbagi kepada Jorong, yaitu Jorong Taratak Indah, Jorong Gelanggang Tangah, Jorong Balai Gadang, Jorong Balai Diateh, dan Jorong Sianau Indah. Dalam bidang adat terbagi kepada 4 suku, yaitu Suku Kutianyir, Suku Mandahiliang, Suku Piliang, dan Suku Caniago.

Nagari Sungayang secara adat termasuk diantara nagari yang tertua di alam Minangkabau. Nagari Sungayang ini pada awalnya bernama Nagari Tanjung Sungayang dengan daerah : Singkayan, Sawah Liek, Sungayang, Tanjung, Talago, Sungai Patai, Andaleh, dan Baruh Bukit. pada tahun 1856 berdasarkan keputusan Regen Belanda di Batusangkar, Nagari Tanjung Sungayang dimekarkan menjadi nagari:

  1. Daerah Singkayan dan Sawah Liek masuk Nagari Minangkabau.
  2. Daerah Andaleh dan Baruh Bukit menjadi satu nagari yang bernama Andaleh Baruh Bukit.
  3. Daerah Talago dan Sungai Patai menjadi satu nagari yang bernama Sungai Patai yang menjadi bagian dari onder distrik Sungai Tarab (termasuk Kecamatan Sungai Tarab).
  4. Daerah Sungayang dan Tanjung menjadi satu Nagari, yang namanya tetap Tanjung Sungayang,

Pada tahun 1896 berdasarkan keputusan Pemerintahan Belanda, nagari Tanjung Sungayang dipecah menjadi 2 nagari, yaitu nagari Sungayang dan nagari Tanjung. Semenjak itu Sungayang secara Pemerintahan menjadi nagari Sungayang samapai saat ini. Pemekaran nagari atau dipecahnya nagari Tanjung Sungayang menjadi beberapa nagari adalah  salah satu siasat Belanda memecah persatuan dan memecahkan kekuatan anak nagari dalam menghadapi Belanda.

Kalau kita membicarakan nagari Sungayang, kita harus dapat menelusuri mata rantai yang mengembalikan dan mengarahkan pikiran kita kepada nagari Tanjung Sungayang yang dibentuk pertama kali.

Menurut buku tambo, ada 7 buah nagari yang tertua di alam Minangkabau, dimana masing-masing nagari itu mempunyai ciri khas tersendiri tentang sosial budayanya. Nagari Tanjung Sungayang termasuk nagari tertua ke empat di alam Minangkabau. Nagari yang pertama kali berdiri adalah nagari Pariangan Padang Panjang, yang kedua adalah nagari Sungai Tarab, yang ketiga adalah nagari Lima Kaum, dan yang keempat adalah nagari Tanjung Sungayang. Yang sebenarnya waktu itu isitilah nagari belum ada yang ada hanya sebutan daerah.

Alkisah, tersebutlah dalam tambo, ada 7 orang ninik mamak berikut dengan anak kemenakannya berlayar dari pemukiman. Pada waktu itu sebagian besar daerah alam Minangkabau sekarang masih digenangi air. Ketujuh orang ninik mamak itu adalah:

  1. Dt. Sirajo-rajo
  2. Dt. Rajo Penghulu
  3. Dt. Malano Putiah
  4. Dt. Paduko Rajo
  5. Dt. Gadang Majo Lelo
  6. Dt. Sinaro
  7. Dt. Rajo Malano

Pimpinan rombongan adalah Dt. Sirajo-rajo.

Rombongan ninik mamak yang tujuh ini mendarat di suatu tempat yang sekarang bernama Tempunik (sekarang dalam Jorong Gelanggang Tangah).

Kata-kata “Tempunik” ini mungkin berasal dari “tumpuan niniak” yaitu tempat tumpuan nenek moyang yang mula-mula datang. Di Tempuniak ini mereka melihat suatu daratan yang luas dan langsung tinggal didaratan tersebut. Rupanya daratan yang mula-mula mereka injak itu adalah ujung dari daratan yang luas. Karena daratan yang mereka temui itu merupakan tanjung yang kecil dari daratan yang luas, maka tempat itu mereka namakan Ujung Tanah. Mereka tidak menetap ditempat itu, tetapi menyebar mencari lokasi pemukiman untuk masing-masing kelompok ninik mamak. Setiap ninik mamak beserta rombongannya mengambil lokasi sendiri-sendiri. Pada masa itu tempat tinggal mereka belum merupakan nagari, malah merupakan kelompok-kelompok kecil.

Jauh sesudah saat itu kemudian datang pula rombongan kedua dari Pariangan Padang Panjang. Rombongan ini dengan jumlah besar, yang terdiri dari ninik mamak dan anak kemenakannya. Jumlah ninik mamak dalam rombongan ini 23 orang. Setelah tiba di suatu tempat mereka turun ke darat untuk melihat lokasi yang akan ditempati. Sewaktu mereka turun ke daratan, perahu-perahu mereka di tambaikan dipinggir pantai.

Perahu dalam bahasanya kunonya disebut “Jung”. Jadi merek berlayar dengan memakai jung. Dipinggir pantai dimana mereka menambatkan tali jung, daerah itu mereka namakanc”Tambatan Jung”. Lama kelamaan berubah menjadi Tabek Ajung (sekarang dalam daerah Jorong Taratak Indah).

Rombongan ninik mamak yang 30 dibagi dalam beberapa kelompok yang disebut payung.

Ada payung Dt Sirajo-Rajo dengan beberapa orang penghulu dibawahnya.

Ada payung Dt. Rajo Penghulu dengan beberapa orang penghulu di bawahnya.

Ada payung Dt. Malano Putiah dengan beberapa orang penghulu di bawahnya.

Ada payung Dt. Paduko Rajo dengan beberapa orang penghulu di bawahnya.

Ada payung Dt. Gadang Majo Lelo dengan beberapa orang penghulu di bawahnya.

Ada payung Dt. Sinaro dengan beberapa orang penghulu di bawahnya.

Sedangkan Dt. Rajo Malano tidak mempunyai payung Artinya dibawahnya tidak ada Penghulu yang diperintahinya. Dt. Rajo Malano diangkat sebagai “Camin” bagi Datuak nan baranam Fungsi “Camin” di sini mungkin sebagai jabatan Non Departemen pada saat sekarang ini atau juga dapat dimisalkan dengan Menteri Negara yang tidak berstruktur sampai ke bawah. Karena ia tidak sebagai payung dan hanya sebagai “Camin”, ia merasa kesal dan

menyingkir dari kelompok yang enam. la bersama anak kemenakannya naik ke sebuah bukit dan bukit inilah ia manampa dado karena kekecewaannya. Bukit ini kemudian bernama “bukit tampa dado”, yang dikenal dengan “Bukik Tangah”.

Dari bukit ini ia melihat suatu lokasi berupa rimba yang baik untuk pemukiman, dan mereka langsung menuju lokasi itu. Disana mereka menetap untuk bermukim. Rimba itu dipenuhi oleh pohon gelundi. Kolasi itu mereka beri nama Gelundi Nan Sakampuang.

Kepergian Dt. Rajo Malano dari Tanjung Sungayang tentu tidak menyenangkan Datuak nan baranam. Karena itu Datuak nan baranam menjemput Dt. Rajo Malamo untuk kembali ke Tanjung Sungayang. Dt. Rajo Malano tidak mau kembali. Kemudian dari itu Dt. Rajo Malano berulang-ulang datang ke Tanjung Sungayang membujuk orang-orang lain untuk pindah ke Gelundi Nan Sakampuang.

Banyak juga orang yang dapat beliau ajak pindah, ada dari Payung Dt. Sirajo-Rajo, ada dari Payung Dt. Rajo Penghulu, ada dari Payung Dt. Malano Putih, ada dari Payung Dt. Paduko Rajo, ada dari Payung Dt. Gadang Majo Lelo. Yang tidak dapat dibujuknya adalah dari Payung Dt. Sinaro.

Atas tindakan Dt. Sinaro mengambil dan membujuk orang lain untuk pindah, maka Datuak Nan Baranam memanggil Dt. Rajo Malano untuk dapat mengembalikan orang-orang yang dibawa pindah itu. Antara Dt. Rajo Malano dan Datuak Nan Baranam diadakan musyawarah yang dihadiri oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang. Dt. Parpatiah Nan Sabatang berkata kepada Datuak Nan Baranam:

Supaya daerah bertambah luas juga, biarlah mereka berdiam disana, karena sudah begitu kita adatkan semenjak dari Pariangan Padang Panjang, kita senantiasa pindah-pindah mencari tempat yang menyenangkan. Dt. Rajo Malano tetap dibawah perintah Dt. Sirajo-Rajo jugą. Wilayah Dt. Rajo Malano bukan hanya di Gulendi Nan Sakampuang saja tetapi juga di Tanjung Sungayang.

Orang-orang pindah tadi walaupun dibawah pengawasan Dt.

Rajo Malano, namun tetap mempunyai hubungan dengan Payuang asalnya di Tanjung Sungayang.

Setelah berjalan beberapa kurun waktu, setelah berubahnya “Taratak” menjadi “Dusun”, dusun berubah menjadi “Koro”. Koto berubah menjadi “Nagari”, maka ditetapkanlah nama nagari dengan nama Nagari Tanjung Sungayang, yang daerahnya meliputi daerah yang telah dipancang oleh ninik mamak yang 30 orang tadi, yang terdiri dari daerah Singkayan, Sawah Liek, Sungayang, Tanjung, Talago, Sungai Patai, Andaleh dan Baruh Bukit.

Daerah yang ditempati oleh Dt. Rajo Malano tersebut di atas dinamakan “Tanjung”

Wallahu a’lamu bishshawab.

Dengan telah disepakatinya nama nagari dengan Tanjung Sungayang maka diadakanlah upacara malewakannya dalam suatu upacara. Upacara ini dihadiri oleh ninik mamak dari Paringan Padang Panjang, dari Sungai Tarab dan dari Lima Kaum.

Nagari Tanjung Sungayang diresmikan oleh Dt. Parpatih Nan Sabatang. Selain meresmikan nama nagari, Dt. Parpatiah Nan Sabatang juga telah menetapkan nama julukan dari nagari Tanjung Sungayang julukan untuk nagari sebelum ini (Sungai Tarab dan Lima Kaum). Nama julukan adalah berupa semboyan, yang tentu saja mengandung makna tertentu.

Barangkali semboyan ini akan sama fungsinya dengan semboyan yang ada dalam suatu logo sekarang ini. Lambang Daerah Tanah Datar bertuliskan semboyan “Tuah Sepakat” menurut alur dan patut. Lambang Daerah Propinsi Sumatera Barat bertuliskan semboyan: “Tuah Sepakat”. Lambang Departemen Agama” Ikhlas Beramal”

Nagari Tanjung Sungayang diberi semboyan oleh Dt. Parpatih Nan Sabatang adalah:

Nagari Tanjung Sungayang, Parmato di ateh Ameh.

Ikan batalua dalam batu, aie janiah sayaknyo landai

Semboyan ini merupakan kata kiasan yang harus kita terjemahkan dan dipertajam agar pengertiannya dapat dihayati, Karena ia merupakan kata filsafat, ada pesan yang terkandung dalam semboyan itu. Menurut pendapat penulis (tentu belum dipastikan kebenarannya) semboyan ini mengandung 3 pesan.

Parmato di ateh ameh:

Permata adalah barang yang bernilai tinggi, dimana saja ia berada, apakah dalam lemari atau dalam lumpur, daya nilainya tidak akan berubah. Sebab itu sangat diperlukan orang dan selalu dicari. Emas juga benda berharga, yang sama nilainya dengan permata. Orang Tanjung Sungayang menjadi ahli pikir dan berwawasan luas, karena orang yang berfikir dan berwawasan luaslah yang selalu diperlukan orang dalam menyelesaikan masalah. Daerah Tanjung Sungayang diibaratkan dengan emas, yang merupakan harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan juga dibutuhkan orang nagari lain. Kewajiban orang-orang nagari Tanjung Sungayanglah memelihara daerahnya yang berharga itu, jangan sampai menjadi perak atau loyang.

Ikan batalua dalam batu:

Ikan yang bertelur disembarang tempat maka telurnya tidak akan menetas karena dimakan oleh binatang atau ikan lainnya. Jika seseorang ingin membibitkan ikan hendaknya diusahakan agar tempat ikan bertelur dibuat sedemikian rupa agar telur ikan jangan dapat dirusak binatang lain. Tempat yang baik untuk menetaskan ikan adalah dalam rongga-rongga batu. Kalau menetaskan ikan dalam rongga batu, dapat dipastikan usahanya tidak akan gagal bahkan akan berhasil dengan baik.

Makna atau pesan dalam “Ikan batalua dalam batu” adalah warga Tanjung Sungayang harus yakin dengan usahanya yang telah direncanakannya dan harus tahu kiat pelaksanannya.

Aie Jania Sayaknyo landai.

Pada masa dahulu orang mandi di sumur umum yang bersumber dari mata air. yang dalam istilah Tanjung Sungayang disebut LUAK. Untuk menimba air untuk mandi digunakan sayak atau tempurung kelapa. Sayak yang lebih menarik adalah sayak yang landai, yang permukaannya agak luas.

Melihat air yang jernih mendatangkan minat orang yang melihatnya untuk mandi, apalagi sayaknya sangat menarik. Air yang jernih dan sayak yang landai akan menimbulkan daya tarik tersendiri.

Pesan yang dapat diambil dari semboyan ini:

Agar daerah Tanjung Sungayang harus dapat menimbulkan daya tarik atau dapat memikat hati orang yang melihatnya.

Pada saat ini tentu dapat diartikan agar daerah Tanjung Sungayang dapat mengundang orang lain dalam menimbulkan inspirasi atau daerah wisata yang menarik.

Hal tersebut diatas adalah menurut pendapat penulis, mungkin ada terjemahan lain, tergantung kepada bagaimana cara menggali filsafat itu.

Dari mana asal kata Sungayang dan apa arti Sungayang itu?

Dalam hal ini ada 2 versi:

Versi Pertama:

Daerah nenek moyang kita yang telah bermukim sebagai yang telah diuraikan sebelum ini, ada sebuah sungai. Pada malam hari selalu terdengar suara yang mengiang-ngiang disepanjang sungai ini. Suara yang mengiang-ngiang ini selalu terdengar setiap malam. Penduduk menamakan sungai ini dengan “Sungai Mangiang” dan daerah sekitarnya juga disebut “Sungai Mangiang”. Orang yang berdomisili disekitarnya disebut “Orang Sungui Mangiang”

Lama kelaman istilah Sungai Mangiang berubah menjadi “Sungayang”. Sampai sekarang sungai kecil itu masih ada, yang bernama Batang Ngoyang.

Versi Kedua

Sungai kecil yang ada disekitar pemukiman penduduk pada masa yang lalu itu berasal dari air yang keluar dari semak belukar yang ditumbuhi juga oleh kayu-kayu besar. Pada kayu besar banyak dewa-dewa. Dewa dalam istilah lamanya disebut “Hiyang”. Karena disitu banyak dewa, mereka memberi nama sungai itu dengan “Sungai Bahiyang”, yang artinya sungai yang banyak dewa. Disekitar sungai itu banyak batu-batu besar. Dibatu- batu besar itu dewa-dewa berjemur diri pada waktu tengah hari. Daerah disekitar batu-batu besar itu mereka sebut “Batu Bahiyang”. Lama kelamaan berubah menjadi “Batu Bayang” yaitu nama sebuah tempat sebelah utara Masjid Sungayang sekarang ini. Sampai sekarang tempat itu bernama ” Batu Bayang “. Daerah pemukiman penduduk dinamakan “Sungai Bahiyang”. Lama kelamaan istilah Sungai Bahiyang berubah menjadi “Sungayang”.

Wallahu a ‘lamu bishshawab.

MANTAN-MANTAN KEPALA PEMERINTAHAN NAGARI SUNGAYANG

No. Nama / Gelar Periode
1 Dt. Paduko Rajo 1896 - 1906
2 Dr. Pdk Marajo Nan Sirah Mato 1906 - 1911
3 M. Nur. Dt. Gadang Majo Lelo 1911 - 1941
4 Dt. Atih 1941 - 1945
5 M. Amin Parmato Kayo 1945
6 H. Aidrus Arif 1946 - 1947
7 Dahniwar 1947 - 1949
8 Bustamam Habib 1949
9 Rasul Dt. Rajo Malano 1949 - 1952
10 Syamsuri Majid 1952 - 1956
11 H. Arifin Syah 1956 - 1960
12 Saiful Anwar 1960 - 1963
13 Sy. Dt. Rajo Malano 1963 - 1967
14 Anas Sain 1967 - 1973
15 Almawar Malin Pono 1973 - 1983
16 Pemerintahan Desa 1983 - 2001
17 Fajri Karana 2001 - 2008
18 Izhar Rasyid 2008 - 2018
19 Nofri Edison S.Pdi 2022 - 2024

Ulama – ulama Sungayang terdahulu:

    1. Angku Kolok, dengan pengajian Kitabnya, meninggal tahun 1911.
    2. Tuanku Umar, seorang Imam Masjid, meninggal tahun 1914.
    3. Syekh. M. Thaib Umar dengan Madras Schoolnya, meninggal 22 Juli 1920.
    4. Ustaz Ilyas Rasyad Dt, Ind .Mkt, meninggal 1 April 1937.
    5. Syekh. M. Syahin Engku Mudo, meninggal 2 Juli 1940.
    6. Ustaz H. Aidrus Arif, pakar bahasa Arab, juga menjadi wali Nagari Sungayang, meninggal 12 Februari 1947.
    7. Ustaz H. Azhuri Hamzah, meninggal pada tanggal 24 Oktober 1951.
    8. H. Mahmud Azis, juga seorang politikus. ahli hadis tingkat Nasional, meninggal pada tanggal 21 Nopember 1960.
    9. Buya H. Arifin Syah, pakar tafsir, meninggal pada tanggal 4 Juni 1961.
    10. Buya Mahmud Thaib, jabatan terakhir Kepala Urusan Agama Kabupaten Tanah Datar, meninggal tanggal 5 Mei 1965.
    11. Ustaz H. Zainuddin Karim, meninggal pada tanggal 27 Mei 1977.
    12. Ustaz Munir Ahmad, meninggal pada tanggal 2 Maret 1978.
    13. Ustaz H. Harun Al Rasyid, jabatan terakhir Kepala Urusan Agama Kabupaten Agam, meninggal pata tanggal 31 Desember 1978.
    14. Ustaz H. Mubin KH. Sempono, meninggal pada tanggal 17 April 1979.
    15. Ustaz Azrai Jamil, jabatan terakhir Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Sungayang, meninggal pada tanggal 15 Februari 1980.
    16. Prof. Dr.H. Mahmud Yunus, tokoh Nasional, pendiri LAIN dan juga Pejabat Teras Kementrian Agama, meninggal pada tanggal 16 Januari 1982.

    17. Ustaz Hamdan Thaib, meninggal pada tanggal 17 Maret 1983.

    18. Ustaz Ilyas Shaleh, ahli tafsir dan mubaligh.

    19. Ismail Laut, pakar Fiqhi dan Ushul Fiqhi, jabatan terakhir kepala Mahkamah Syari’ah Propinsi Sumatera Tengah, meninggal pada tanggal 25 Mei 1986.

    20. Buya H. M. Isa Manti, guru Alhidayah dan Mubaligh meninggal pada tanggal 24 September 1990.

    21. Ustaz H. M Isa Rasyad, meninggal pada tanggal 11 Desember 1990

    22. Ustaz H. Nawawi Nurdin, meninggal pada tanggal I Nofember 1990

    23. Ustaz Syarif Gindo, meninggal pada tangal 31 Desember 1991

    24. Buya Tamrin Nur, pakar Hukum Islam dan ilmu falak, meninggal pada tanggal 13 Maret 1992

    25. Buya Rusli Habib.

    26. Buya Jamaris Aziz, ulama intelektual, mubaligh tingkat Sumatera Barat, meninggal pada tanggal 2 Februari 2002

    27. Drs. H. Musni.

    28. H. Abdul Muis Shaleh, meninggal pada tanggal 28 Oktober 2003.

    29. Buya Mustafa Ali. guru Alhidayah Islamiyah dan Mubaligh, wafat pada tanggal 25 Nofember 2003.

    30. H. Umar Rasyad. jabatan terakhir sebagai Pembantu PPN Sungayang, meninggal pada tanggal 17 Februari 2005.

Scroll to Top